Terletak di dukuh Dinuk, Desa Temon, Kecamatan Trowulan. Dari Candi
Bajangratu ke arah tenggara sekitar 500 m. Candi Tikus adalah sebuah
candi peninggalan Kerajaan Majapahit yang terletak di kompleks Trowulan,
Kabupaten Mojokerto, di Trowulan. Bangunan Candi
Tikus berupa tempat ritual mandi (petirtaan) di kompleks pusat
pemerintahan Majapahit. Bangunan utamanya terdiri dari dua tingkat.
Candi Tikus diperkirakan dibangun pada abad ke-13 atau abad ke-14. Candi
ini dihubungkan dengan keterangan Mpu Prapanca dalam kitab
Nagarakretagama, bahwa ada tempat untuk mandi raja dan upacara-upacara
tertentu yang dilaksanakan di kolam-kolamnya. Arsitektur bangunan
melambangkan kesucian Gunung Mahameru sebagai tempat bersemayamnya para
dewa. Menurut kepercayaan Hindu, Gunung Mahameru merupakan tempat
sumber air Tirta Amerta atau air kehidupan, yang dipercaya mempunyai
kekuatan magis dan dapat memberikan kesejahteraan, dari mitos air yang mengalir di Candi Tikus dianggap bersumber dari Gunung Mahameru.
Candi ini disebut Candi Tikus karena
sewaktu ditemukan merupakan tempat bersarangnya tikus yang memangsa padi petani.
Di tengah Candi Tikus terdapat miniatur empat buah candi kecil yang
dianggap melambangkan Gunung Mahameru tempat para dewa bersemayam dan
sumber segala kehidupan yang diwujudkan dalam bentuk air mengalir dari
pancuran-pancuran/jaladwara yang terdapat di sepanjang kaki candi.
Air ini dianggap sebagai air suci amrta, yaitu sumber segala kehidupan. Situs candi ini digali pada tahun 1914 atas perintah
Bupati MojokertoKromodjojo Adinegoro. Karena
banyak dijumpai tikus pada sekitar reruntuhannya, situs ini kemudian
dinamai Candi Tikus. Candi Tikus baru dipugar pada tahun 1985-1989.
Dulu, ada petani dari Desa Temon, Kecamatan Trowulan, Mojokerto gelisah
karena serbuan tikus sawah. Hasil tani yang biasanya cukup untuk
menghidupi seluruh anggota keluarga, kini nyaris tak tersisa. Tak tahan
menghadapi serbuan tikus, ia memohon pada Sang Pencipta. Suatu malam, Si
Petani mendapat wisik (wangsit,) agar mengambil air di kawasan Candi
Tikus lalu menyiramkan air itu ke empat sudut sawah.
Sebuah keajaiban terjadi. Tikus-tikus yang biasanya kerap beraksi di
malam hari hilang begitu saja. Tanah sawah juga mendadak jadi subur. Si
Petani tak kuasa menahan kegembiraannya dan bercerita pada warga desa.
Beberapa saat kemudian, ada saudagar kaya mendengar kabar tentang
khasiat air Candi Tikus. Dengan rakus, ia mencari jalan pintas untuk
menambah kekayaannya. Suatu malam, ia mencuri batu candi dan
meletakkannya di sudut-sudut sawah. Lagi-lagi sebuah kejaiban terjadi.
Tapi kali ini, tikus-tikus malah datang dan menghabisi padi di sawah.
Fenomena ini membuat warga desa sadar, bahwa mereka tak bisa berharap
lebih. "Kami hanya bisa memanfaatkan air di Candi Tikus, tapi bukan
batu-batu candi," kata mereka. Dan mitos ini, ternyata masih dipercaya
hingga kini.
Di sisi lain, ada mitos lain yang berkembang kebalikannya. Pada tahun 1914,
candi ini ditemukan oleh Bupati Mojokerto, RAA Kromojoyo Adinegoro.
Sebelumnya, ia mendengar keluh kesah warga Desa Temon yang kalang kabut
karena serbuan hama tikus di sawah mereka. Tanpa pikir panjang,
Kromojoyo memerintah aparat desa agar memobilisasi massa dan menyatakan
perang pada tikus. Anehnya, saat terjadi pengejaran, tikus-tikus itu
selalu lari dan masuk dalam lobang dalam sebuah gundukan besar.
Karena ingin membersihkan tikus sampai habis, Kromojoyo memilnta agar
gundukan itu dibongkar. Ternyata, di dalam gundukan terdapat sebuah
candi. Melihat sejarah penemuannya, Kromojoyo memberi nama Candi Tikus.
Memasuki masa kemerdekaan, Candi Tikus yang mulai rusak dipugar setahap
demi setahap. Puncaknya, Candi Tikus dipugar pada tahun 1984 hingga
1989. Tentu, pemugaran ini dilakukan dengan ekstra hati-hati agar tak
berseberangan dengan tampilan asli. Kini, masyarakat bisa melihat Candi
Tikus sebagai aset wisata sejarah yang kaya sentuhan estetika.
Secara keseluruhan, candi ini lebih mirip dengan petirtaan. Bangunannya
dibangun di atas tanah yang lebih rendah 3,5 meter dari tanah di
sekitarnya. Untuk mendekati candi, kita harus melewati tangga masuk di
sisi utara. Dari situ, kita bisa melihat candi berukuran 29,5X28,25
meter dan tinggi keseluruhan 5,2 meter ini dari dekat.
Sampai sekarang, Candi Tikus masih sering dijadikan ajang penelitian
ahli purbakala dari dalam dan luar negeri. Kebanyakan, mereka ingin
merangkai fakta sekaligus antitesis sebuah teori yang menyebut, semua
bangunan yang berasal dari masa pengaruh agama Hindu - Budha abad 5-15 M
adalah candi. Padahal, bangunan-bangunan itu tak selalu berfungsi
sebagai sarana pemujaan.
Sebagai bangunan berkarakter khas, Candi Tikus adalah icon yang berseberangan dengan teori itu. Karena
Candi Tikus memiliki pancuran dan saluran air yang konon berperan besar sebagai pengatur debit air di Majapahit. Di luar itu, Candi Tikus juga memiliki daya tarik yang tak bisa lepas dari rangkaian situs Majapahit yang tersebar di Trowulan.
Candi Tikus merupakan salah satu bangunan yang mempunyai nilai eksotisme
tersendiri. Selain memiliki arsitektur yang cukup unik dengan ornamen
pada bangunan induk yang dihiasi pancuran air berbentuk makara dan
padma,
candi tersebut juga memiliki dua kolam dan saluran-saluran air yang mengandung struktur petirtaan. Adanya
pancuran air di Candi Tikus (jaladwara) yang berbentuk makara dan
padma, makara merupakan perubahan bentuk tunas-tunas yang keluar dari
bonggol teratai, sedangkan padma merupakan teratai itu sendiri.
Secara keseluruhan candi itu dapat dikategorikan sebagai bangunan
petirtaan. Mengenai keterangan akar kronologis tentang Candi Tikus dapat
dikaitkan dengan uraian dalam kitab Nagarakartagama yang ditulis oleh
Prapanca (1385 M).
Dalam kitab tersebut pada pupuh
27 dan 29 menyebutkan adanya tempat pemandian (petirtaan) raja yang
dikunjungi Hayam Wuruk dan keterangan yang menyebutkan adanya
upacara-upacara tertentu yang dirayakan di kolam-kolam.
Meskipun dalam kitab tersebut Prapanca tidak menyebutkan secara
eksplisit mengenai nama Candi Tikus, namun diyakini oleh sebagian besar
pengamat situs kebudayaan purbakala, salah satu tempat pemandian yang
dimaksudkan dalam kitab Nagarakartagama adalah Candi Tikus, terkait
dengan letak bangunan yang masih berada di kawasan Kerajaan Majapahit.
Di sisi lain, menara-menara (bangunan miniatur yang mengelilingi
bangunan induk) merupakan bagian terpenting dari gubahan arsitektur abad
ke XIII-XIV. Secara tidak langsung bangunan candi itu dapat diyakini
didirikan pada abad ke XIII-XIV, premis ini semakin memperuncing
kebenaran bahwa yang dimaksud dalam kitab Nagarakartagama mengenai
petirtaan yang dikunjungi oleh Hayam Wuruk dan kolam-kolam yang
dijadikan sebagai tempat untuk mengadakan prosesi upacara-upacara
tertentu, salah satunya adalah Candi Tikus.
Meskipun Candi Tikus sempat tenggelam dari panggung sejarah dan kembali
tampil sekitar 1914, setelah diadakan penggalian terhadap tanah yang
menutupinya dan adanya beberapa kerusakan fisik yang hampir menyusutkan
eksotisme bangunan tersebut.
Namun autentisitas nilai dan kandungan filosofis yang terdapat dalam
keutuhan candi itu hingga dewasa ini masih mampu terlestarikan dengan
baik.
Simbolis Gunung Meru
Menurut Bernet Kempers (1954:210), Candi Tikus merupakan replika atau
simbolis Gunung Meru. Hal itu terkait dengan konsep religi yang
melatarbelakangi bangunan candi, di samping itu model bangunan Candi
Tikus yang makin ke atas makin mengecil dan pada bangunan induk
seakan-akan terdapat puncak utama yang dikelilingi oleh delapan puncak
yang lebih kecil, menurut Bernet, model tersebut ada kemiripan
tersendiri dengan bentuk utuh Gunung Meru.
Secara mitologi, Gunung Meru selalu dihubungkan dengan air kehidupan
yang dipercaya mempunyai kekuatan magis dalam memberi kekuatan pada
semua makhluk hidup. Kepercayaan ini lahir dari konsep Hindu-Buddha yang
meyakini gunung tersebut sebagai pusat kehidupan, yang kemudian
termanefestasikan dalam bentuk bangunan candi, pemahaman itu hingga
dewasa ini masih dikultuskan oleh segenap masyarakat tradisionalis.
Perpaduan konsep Hindu-Buddha dalam bangunan Candi Tikus yang sudah
kadung mendarah daging membentuk pola pemikiran dan perilaku masyarakat
Jawa. Secara teoritis sebenarnya masyarakat berhasil membangun tempat
pemujaan merupakan suatu kebanggaan tersendiri karena tempat tersebut
dipercaya sebagai sarana untuk bersua dengan Sang Penciptanya atau
sebagai sarana komunikasi dengan Tuhan yang diyakininya.
Lahirnya kebanggaan tersebut secara tidak langsung merupakan percikan
dari rasa cinta manusia terhadap zat yang menciptakannya, jangan heran
jika kemudian Candi Tikus juga dipersepsikan sebagai salah satu
petirtaan tempat diadakannya prosesi upacara-upacara tertentu sebab
selain sebagai petirtaan, candi itu juga memilik dimensi religi yang
sangat kental tergambar dalam model bangunannya.
Berpijak pada akar kronologis dibangunnya ragam candi pada masa
pemerintahan Kerajaan Majapahit, tidak lepas dari pengaruh
sosial-kultural masyarakat Jawa yang pada waktu itu masih kebanyakan
menganut paham Hindu-Buddha sehingga pasca kepemerintahan Kerajaan
Majapahit banyak ditemukan situs purbakala yang berbentuk candi.
Pada dasarnya salah satu unsur terbentuknya candi yang mempunyai replika
atau simbolis tersendiri semisal Candi Tikus sebagai lambang Gunung
Meru, pertama, guna memberi dukungan emosional dan moral. Kedua sebagai
sarana memperkukuh hubungan transendental. Ketiga mengeramatkan
nilai-nilai dan norma-norma masyarakat setempat. Keempat memberi
identitas pada individu dan kelompok. Kelima, erat hubungannya dengan
siklus pertumbuhan (life cycle) Sederhananya,
Candi Tikus yang terletak lebih rendah dari permukaan tanah di
sekitarnya, yaitu pada kedalaman sekitar 3,50 m atau sekitar 46,78 m
dari permukaan laut, secara umum bangunan ini berdenah bujur sangkar
dengan ukuran 22,50 x 22,50 m, apabila dipahami dari konsep yang
melatarbelakangi perwujudan bangunan dikaitkan dengan ciri yang ada pada
candi tersebut, akan menunjukkan tujuan pembangunan candi itu adalah
untuk melambangkan air amrta yang keluar dari gunung.
Simbol-simbol semacam itu sebenarnya mempertegas manusia merupakan
makhluk yang penuh dengan lambang, baginya realitas lebih dari sekadar
tumpukan fakta-fakta. Ada semacam simbiosis-mutualisme antara makhluk
hidup dengan alam yang ada di sekitarnya karena pada dasarnya setiap
makhluk hidup sangat dipengaruhi lingkungan sekitar yang menghidupi
keberadaan dirinya.
Konsep semacam ini dapat ditemukan dalam konsep triloka yang dibangun
dari kepercayaan agama Hindu-Buddha dengan menempatkan semesta pada dua
versi antara jagad gedhe (makrokosmos) dan jagat cilik (mikro-kosmos).
Penempatan Candi Tikus sebagai simbol keagungan Gunung Meru, secara
tidak langsung telah menisbahkan adanya suatu keterkaitan yang erat
antara manusia dengan alam yang ada di sekitarnya.
Keyakinan semacam itu sebenarnya tumbuh dari pembacaan awal manusia
terhadap gejala alam dengan menggunakan logika dasar. Namun, tidak bisa
dinafikan pembacaan semacam itu yang termanefestasikan dalam model
bangunan Candi Tikus merupakan salah satu pijakan yang membantu
terbentuknya pola pemikiran manusia masyarakat Jawa tradisionalis dan
peletak pertama dasar-dasar pemikiran masyarakat Jawa secara general.
Lahirnya premis yang mengatakan mempelajari maupun berusaha mengenali
peninggalan-peninggalan purbakala secara implisit merupakan bentuk lain
dari belajar mengenali keberadaan diri sendiri. Di satu sisi premis
tersebut tidak bisa dibantah kebenarannya karena pada dasarnya
peninggalan purbakala selain memiliki momen sejarah yang teramat penting
untuk senantiasa diketahui para penerusnya guna menegaskan
eksistensinya sebagai masyarakat Jawa.
Di sisi lain, peninggalan purbakala juga menampung beberapa kandungan
makna filosofis yang teramat penting untuk dipelajari oleh para generasi
muda masyarakat Jawa. Berpijak pada UU No 5/1992, tentang Benda Cagar
Budaya Pasal 2 yang berbunyi, perlindungan benda cagar budaya dan situs
bertujuan melestarikan dan memanfaatkannya untuk memajukan kebudayaan
nasional Indonesia.
Maka sudah selayaknya pelestarian terhadap peninggalan purbakala seperti
Candi Tikus yang terletak di daerah Trowulan, tepatnya di dukuh Dinuk,
Desa Temon, Kecamatan Trowulan, Mojokerto semakin digalakkan.
Menziarahi
Candi Tikus secara tidak langsung membuka diri untuk memasuki dimensi
lain tempat para leluhur masyarakat Jawa melalukan prosesi ritual
penyerahan diri terhadap Sang Pencitanya.
Candi Tikus, Pengatur Debit Air Majapahit
Sudah bukan rahasia lagi bila mendengar nama candi. Benak kita lantas
tertuju pada suatu bangunan (terbuat dari batu atau bata merah) yang
berasal dari masa silam yang berfungsi sebagai sarana pemujaan. Ini
tidak keliru, karena memang candi berfungsi sebagai sarana untuk
melakukan suatu ritual pemujaan.
Namun di Indonesia, tampaknya ada semacam pandangan yang menyatakan
bahwa segala bangunan yang berasal dari masa pengaruh agama Hindu -
Budha (abad V - XV M) sering disebut segabagai candi. Padahal,
bangunan-bangunan itu belum tentu berfungsi sebagai sarana pemujaan.
Salah satu contoh dalam bangunan kuno yang sudah terlanjur disebut candi
adalah candi Tikus di Jawa Timur.
Sejak ditemukan pertama kalinya pada tahun 1914, kemudian sampai
dilakukan pemugaran sekitar tahun 1983 - 1986, candi Tikus yang secara
administratif terletak di dukuh Dinuk, Desa Temon, Kecamatan Trowulan,
Kbaupaten Mojokerto, Jawa Timur, telah banyak mengundang perhatian para
pakar sejarah kuno dan arkeologi.
Betapa tidak! Letaknya yang berada dibawah permukaan tanah (sekitar 3,5
meter) dengan beberapa pancuran air dan saluran-saluran air serta
mengingat lokasinya yang berada di Trowulan (yang diduga kuat merupakan
bekas ibukota kerajaan Majapahit), telah mengusik perhatian para pakar
untuk menentukan makna dan fungsi dari bangunan itu, baik dari segi
arsitektural naupun ditinjau dari segi religius.
Dua Tahap Pembangunan
Secara pasti, tidak diketahui kapan candi Tikus ini didirikan karena
tidak adanya sumber sejarah yang memberitakan tentang pendirian candi
Tikus ini.
Dalam kitab Nagarakertagama yang ditulis oleh Prapanca pada tahun 1365 M
(yang telah diakui oleh para pakar sebagai suatu sumber sejarah yang
cukup lengkap memuat tentang kerajaan Majapahit, khususnya pada masa
pemerintahan raja Hayam Wuruk), tidak disebutkan tentang eksistensi
candi Tikus ini.
Namun demikian, ini tidak berarti bahwa serangkaian penelitian yang
ditujukan guna mencari dan menentukan saat dibangunnya candi Tikus ini
lantas manjadi tidak bisa dilaksanakan. Setidaknya, berdasarkan kajian
arsitektural, diperoleh gambaran perbedaan dalam hal penggunaan bahan
baku candi, yaitu bata merah.
Adanya perbedaan penggunaan bata merah (baik perbedaan kualitas maupun
kuantitasnya), memberikan indikasi tentang tahapan pembangunan candi
Tikus. Dari hasil penelitian yang telah dilakukan oleh para arkeolog,
terbukti bahwa bata merah yang berukuran lebih besar berusia lebih tua
dibandingkan dengan bata merah yang berukuran lebih kecil.
Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa selama masa berdiri dan
berfungsinya, candi Tikus pernah mengalami dua tahap pembangunan.
Pembangunan tahap pertama dilakukan dengan mempergunakan batu bata merah
yang berukuran lebih besar sebagai bahan bakunya, sedangkan pembangunan
tahap kedua dilakukan dengan mempergunakan bata merah yang berukuran
lebih kecil.
Lain halnya dengan pendapat yang dikemukankan oleh N.J. Krom lewat buku
"sakti"-nya yang berjudul Inleiding tot de Hindoe Javaansche Kunst II
(Pengantar Kesenian Hindu Jawa). Dengan memperhatikan bahan dan gaya
seni dari saluran air, pakar sejarah kesenian Jawa kuno berkebangsaan
Belanda itu berasumsi bahwa ada dua tahap pembangunan candi Tikus.
Tahap pertama, saluran airnya terbuat dari bata merah dan memperlihatkan
bentuknya yang kaku. Sedangkan tahap kedua saluran airnya terbuat dari
batu andesit dan memperlihatkan bentuknya yang lebih dinamis serta
dibuat pada masa keemasan Majapahit. Ini berarti pula bahwa
menurut
Krom, candi Tikus telah berdiri sebelum kerajaan Majapahit mencapai
puncak keemasannya, yaitu pada masa pemerintahan Hayam Wuruk (1350 -
1380).
Sementara itu, ketika dilakukan pemugaran pada tahun 1984/1985, berhasil
disingkap sisi tenggara bangunan candi Tikus. Kaki bangunan yang
terdapat di sisi tersebut, menunjukan perbedaan ukuran bata merah yang
dipergunakan sebagai bahan bakunya. Hal ini semakin memperkuat dugaan
mengenai dua tahap pembangunan candi tersebut. Kaki bangunan tahap
pertama yang tersusun dari bata merah yang berukuran besar, tampak
ditutup oleh kaki bangunan tahap kedua yang tersusun dari bata merah
yang berukuran lebih kecil. Kapan secara pasti pembangunan tahap pertama
dan kedua ini dilakukan, belum jelas benar.
Menurut catatan hasil penelitian yang telah dilakukan H. Maclaine Pont pada tahun 1926, setidaknya
terdapat
18 buah waduk besar yang diduga kuat dibangun pada masa Majapahit
(letaknya kini tersebar diseluruh kabupaten Mojokerto, Jawa Timur). Dari
18 buah waduk besar itu 4 buah diantaranya terletak di daerah Trowulan.
Yaitu di Desa Baureno, Kumitir, Domas dan Temon. Waduk-waduk besar ini berfungsi sebagai tempat penampungan air pertama untuk selanjutnya dialirkan ke tempat-tempat lain.
Dari ke-empat waduk besar yang terletak di daerah Trowulan,
waduk Baureno diduga merupakan sumber dari air yang masuk ke candi Tikus.
Untuk selanjutnya air dari candi Tikus ini didistribusikan ka arah
kota. Dari hasil penelitian yang telah dilakukan oleh alm. Didiek Samsu
W.T. selama tahun 1986/1987, diketahui bahwa debit air rata-rata dari
pancuran-pancuran air di candi Tikus adalah 17.604.915 cm/*******
"Berdasarkan perhitungan ini, dapat diperkirakan bahwa c
andi Tikus pada masa itu memiliki peranan yang cukup penting dalam sistem jaringan air di daerah Trowulan," tulis arkeolog ini dalam skripsinya.
Lebih lanjut, alm. Didiek menyatakan bahwa air candi Tikus juga bisa
dijadikan patokan musim kemarau dan musim penghujan. Pada musim kemarau,
debit air rata-rata setiap pancuran pancuran lebih kurang 400
cm/******* Sedangkan jika lantai dasar candi Tikus mulai tergenang dan
pancuran air memancarkan air lebih jauh, dapat diartikan bahwa musim
hujan telah menjelang. Ini berarti pula bahwa pada musim hujan debit air
di candi Tikus akan naik, sehingga bisa jadi patokan untuk membuka atau
menutup pintu air di waduk atau bendungan.
Memiliki Kekuatan Magis
Tanpa usaha yang telah dilakukan oleh H. Maclaine Pont, barangkali nama
Trowulan tidak akan mencuat ke permukaan dalam panggung sejarah
Indonesia. Dialah yang pertama kali menyatakan bahwa Trowulan merupakan
bekas Ibukota kerajaan Majapahit. Dengan bersumber pada kitap
Nagarakertagama, Maclaine Pont berhasil merekonstruksi (bina ulang)
ibukota kerajaan Majapahit. Dari peta kota hasil rekonstruksi Maclaine
Pont pada tahun 1926 tersebut, tampak bahwa candi Tikus terletak di luar
kota Majapahit.
Sejak zaman Prasejarah, air memang memiliki
peranan penting dalam kehidupan spiritual manusia. Air dipercaya
memiliki daya magis utnuk membersihkan, mensucikan dan menyuburkan. Tak
heran, bila kemudian air yang keluar dari candi Tikus juga dipercaya
memiliki kekuatan magis untuk memenuhi harapan rakyat agar hasil
pertanian mereka berlipat ganda dan terhindar dari kesulitan-kesulitan
yang merugikan.